Ratu Ageng “Sang Kartini Diponegoro”

Kartini adalah salah seorang perempuan kuat yang dimiliki oleh Indonesia. Kartini adalah salah satu aktivis yang memperjuangkan emansipasi wanita. Kartini adalah salah satu pahlawan wanita yang merupakan pelopor bagi kebangkitan perempuan-perempuan pribumi pada waktu itu. Melalui buku Door Duisternis tot Licht (Habus Gelap Terbitlah Terang), Kartini menjadi seorang motivator, menjadi panutan bagi generasi wanita-wanita Indonesia dibawahnya . Senada dengan wanita Indonesia yang memiliki panutan, seorang ningrat Jawa, sang pemimpin Perang Jawa  juga memiliki guru kehidupan, dialah Ratu Ageng.

Ratu Ageng adalah permaisuri dari Sri Sultan Hamengkubuwono 1 seorang keturunan bangsawan Mataram yang pernah melakukan perlawanan terhadap Mataram dikarenakan telah mendapat intervensi oleh VOC. Ratu Ageng bisa dikatakan perempuan yang paling berpengaruh terhadap pembentukan karakter keagamaan yang dimiliki oleh sang Pangeran kecil dikarenakan karena, beliau merupakan anak dari pemuka agama besar yaitu Kiai Ageng Deporyudo dan merupakan keturunan dari Sultan Bima.

Ratu Ageng juga merupakan komandan korps prajurit estri yaitu pasukan pengawal elite yang dimiliki Kasultanan pada saat itu. Menurut informasi yang didapatkan dari salah satu Babad Keraton Yogyakarta disebutkan bahwa Ratu Ageng dikenal karena kesalehan islamnya itu terbukti pada saat beliau membaca kitab-kitab agama dan menjujung tinggi adat jawa tradisonal di lingkungan keraton.

 

Keluarga keraton pada tanggal 11 November 1785 pada saat sahur di bulan ramadhan mendapatkan kabar bahagia bahwa Cucu dari putra mahkota telah lahir ke dunia, tidak terkecuali sang Sultan pertama yang sudah lanjut usia dengan penuh harap kepada sang Pangeran kecil yang digendongnya yang diramalkan kelak akan bangkit melawan penjajahan walau nanti hanya akan terbilang diantara para leluhur.

Ratu Ageng merupakan sosok perempuan pemarah, hal ini dibuktikan dengan keluarnya sang ratu dari keraton akibat perselisihannya dengan sang anak yaitu sultan kedua. Ratu Ageng juga terukti pekerja keras karena dengan semangatnya beliau dibantu dengan kerabatnya membuka lahan baru di wilayah barat laut keraton yaitu daerah Tegalrejo. Peristiwa itu Setelah sepeninggal Sultan pertama pada tahun 1792 itu pula, Ratu Ageng beserta B.R.M. Muntahar atau nama kecil dari Pangeran Diponegoro keluar dari benteng keraton.  Maka dari situlah penyebutan Ratu Ageng Tegalrejo tercipta.

Sejak bayi, sang Pangeran kecil telah dititipkan kepada Ratu Ageng dari ibunya R.A. Mangkorowati  yang masih muda belia, setelah mendapat ramalan bahwa bayi ini lah yang akan membuat kerusakan Belanda lebih besar daripada yang dibuat oleh Pangeran Mangkubumi dalam Perang Giyanti. Dalam kebudayaan masyarakat Jawa hal ini wajar jikalau anaknya diasuh oleh orang yang lebih tua seperti neneknya ataupun nenek buyutnya, dengan harapan agar anaknya mendapat pendidikan karakter yang cukup. Berdasarkan catatan Knoerle, bahwa sang nenek buyut merupakan seseorang yang galak namun penuh kasih sayang, buktinya adalah ketika menakut-nakuti Diponegoro kecil ketika memberikan perintah.

Relasi antara Ratu Ageng dengan kyai-kyai dan para ulama dari berbagai daerah serta kelonggaran yang diberikan oleh sang Nenek Buyut untuk menjadikan Tegalrejo menjadi tempat persinggahan bagi para komunitas-komunitas islam beserta ulamanya membuat Diponegoro kecil mendapat ilmu agama yang cukup. Kecakapan dalam hal agama inilah yang nanti akan membawa gaya kepemimpinan serta menambah kharismanya nanti di Perang Jawa.

Diponegoro dibesarkan dalam lingkungan  kerabat perempuan yang dibawa atau yang datang karena Ratu Ageng. Kedekatan serta interaksi yang terjalin sejak kecil hingga masuk ke masa dewasa inilah yang membuat Diponegoro memiliki watak feminim. Watak feminim yang dimiliki ini yang menjadikan Diponegeoro memiliki daya kepekaan yang tinggi serta memiliki intuisi yang dapat memahami bahasa-bahasa tubuh yang nantinya akan sangat berpengaruh dalam Perang Jawa seperti pada ketidaktegaan Diponegoro menyaksikan korban jatuh bergelimpangan. Dari watak yang ditularkan Nenek Buyut beserta kerabatnya tersebut memunculkan kemampuan Diponegoro lainnya yaitu dapat mampu membaca watak seseorang melalui ekspresi wajahnya atau yang bisa disebut ilmu fisiognomi.

Ratu Ageng juga mengelola tanahnya di Tegalrejo yang dibudidayakan sebagai kawasan pertanian tepadu bersama kerabatnya. Melalui nenek buyutnya iniliah perintisan Tegalrejo sebagai kawasan pertanian dimulai dan yang nanti akan diteruskan oleh Diponegoro. Tidak hanya bergerak dalam bidang pertanian, Ratu Ageng juga melakukan hubungan perdagangan hingga dengan pedagang Pantai Utara Jawa serta tempat asalnya Bima. Oleh karena lingkungan pertanian dengan perdagangan inilah Diponegoro dapat merasakan jiwa dan bau dari masyarakat kecil, hal ini yang menimbulkan  sifatnya yang merakyat dan nantinya disegani oleh rakyatnya nanti pada saat Perang Jawa.

17 Oktober 1803 merupakan hari berkabung bagi sang pangeran yang telah memasuki masa dewasanya karena sang guru kehidupannya yang mengasuhnya sejak kecil yaitu Ratu Ageng meninggal dunia, hal ini memberikan pukulan terhadap Diponegoro beserta kerabatnya. Sang permaisuri pertama dalam Kasultanan Yogyakarta ini kemudian dikebumikan di Pemakaman Raja-raja Imogiri dengan seluruh kerabat kerajaan yang mengiringinya dari Keraton kecuali Sultan Hamengkubuwono II dan putera mahkota atau ayah dari Diponegoro yang hanya mengantarkannya sampai Alun-alun Kidul.

Ratu Ageng merupakan wanita yang sangat kuat dan teguh pendiriannya dalam  memperjuangkan kebenaran yang diyakininya. Pemikirannya yang logis serta melakukan protes-protes yang dilakukan Ratu Ageng kepada Sultan yang notabe adalah anaknya beserta petingginya ini membuat berbeda dari perempuan ningrat Jawa lainnya karena mendobrak kebiasaan wanita Jawa yang hanya patuh terhadap kaum laki-laki. Pada masa tuanya didedikasikan untuk mendidik dan memberikan budi pekerti yang luhur kepada buyutnya yang kelak diramalkan akan membuat Belanda kacau. Sifat-sifat sang pangeran didapatkan dari penuturan sang Ratu Ageng, ilmu agama yang didapatkan dari ulama yang diundang pula oleh Ratu Ageng, serta pengalamannya yang hidup sebagai rakyat kecil dari kegiatannya berdagang dan bertani membuat kelak akan disegani oleh pengikutnya.

Sumber: Peter Carey.2016. AKDIR Riwayat Pangeran Diponegoro. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara

Diterbitkan oleh

hmsejarahundip

Kabinet Tangguh Beraksi

Tinggalkan komentar