PRASASTI Edisi Ke-3

[[Prasasti]]
Hallo historian!

Sudah pada nyoblos belum? Jangan golput ya…
Politik kampus seru juga ya, tapi jangan sampai kalian gatau politik negara kita dari zaman-zaman. Nah untuk membuka kembali pemikiran kita prasasti edisi ke-3 telah terbit nih. Tema kali ini yaitu “Suksesi Politik dalam Sudut Pandang Sejarah”.
Prasasti dapat di baca di Rubah (Ruang Baca Sejarah) dan dapat juga diakses di blog HM Sejarah
https://hmsejarahundip.wordpress.com

So, let’s read guys…

#DivisiPenerbitan
#TangguhBeraksi
#HMSejarahUndip2018

Klik PELAYARAN POLITIK DI INDONESIA

Keruntuhan Singhasari dan Pesan Moral Bagi Anak Bangsa

(Oleh Stanley Daiva Adriansyah)

Kerajaan Singhasari terletak di pedalaman Jawa Timur Gunung Kawi (kini masih ada desa Singosari di sebalah utara kota Malang), di hulu sungai Brantas. Menurut kitab Pararaton dinasti Singhasari diawali oleh seseorang bernama Ken Arok, yang berhasil menggulingkan Tunggul Ametung, akuwu Tumapel, dari wilayah kerajaan Kediri. Dengan membunuh Tunggul Ametung, Ken Arok menjadikan dirinya penguasa Tumapel. Setelah melakukan konsolidasi kekuasaan di wilayahnya, ia meluaskan kekuasaan politiknya dengan mengalahkan kerajaan Kediri yang berpusat di tepi sungai Brantas pada tahun 1144 Saka (1222 M). Waktu itu raja Kediri adalah Kertajaya.

Dengan kemenangan itu ia membangun kerajaan baru Singhasari yang meliputi daerah Tumapel, Kediri, Kahuripan, dan seluruh desa aliran sungai Brantas dari hulu hingga hilir yaitu pelabuhan laut Ujung Galuh (dekat Surabaya). Ken Arok pendiri dinasti Singhasari bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi.

Dibawah dinasti Rajasa atau Girindra, kerajaan Singhasari tumbuh dan berkembang selama 70 tahun. Dari kelima raja yang memerintah, hanya dua yang memerintah cukup lama yaitu Anusapati, raja kedua (selama 21 tahun), dan cucunya, yaitu Kertanegara, raja kelima dan terakhir (selama 38 tahun).Kedua raja ini mampu memantapkan pemerintahan dalam negeri dan pemberontakan di daerah. Lalu bagaimana kerajaan Singhasari mengalami keruntuhan?

Ketika tentara Singhasari menguasai Suwarnabhumi, rupanya ibukota Suwarnabhumi dijadikan banteng pertahanan tantara Singhasari. Selama tentara Singhasari bermukim di Suwarnabhumi, keadaan di Singhasari sepi tanpa kekuatan. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Arya Wiraraja dari Sumenep yang sakit hati karena dilorot kedudukannya sebagai demung. Ia menaruh dendam terhadap Sri Kertanagara. Melihat Singhasari tanpa kekuatan yang dapat diandalkan, Wiraraja segera memberitahu Jayakatwang supaya memberontak terhadap Sri Kertanagara. Menurut prasasti Mula-Malurung, dikatakan bahwa Sri Jayakatwang adalah kemenakan Sang Prabu Seminingrat alias Wisnudhawarma. Ia dijadikan raja bawahan di Gelang-Gelang dan kawin dengan Nararya Turukbali yang merupakan putri dari Wisnudhawarma sendiri. Jayakatwang tertarik oleh bujukan Arya Wiraraja dan segera membuat persiapan untuk menyerang Singhasari.

Raden Wijaya kemudian diberi perintah melawan musuh yaitu pasukan Daha yang datang dari arah utara, diiringkan oleh banyaknya perwira seperti Banyak Kapuk, Ranggalawe, Podang, Sora, Dangdi, Gajah Pagon, anak Wiraraja yang bernama Nambi, Peteng, Wirot. Serentak mereka semua mengamuk dan membubarkan pasukan Daha tersebut hingga dikejar oleh Raden Wijaya. Namun, turunlah pasukan besar Daha yang datang dari pinggir Aksa menuju Lawor (atau arah selatan). Sampai di Sidhabhawana hingga menuju Singhasari. Sri Kertanagara yang pada saat itu sedang minum-minum bersama patihnya, mati terbunuh oleh Jayakatwang. Kertanagara mangkat pada tahun 1292 dan akhirnya berakhirlah kekuasaan Singhasari.

Runtuhnya Kerajaan Singhasari bukan akibat dendam kesumat keturunan Kertajaya (raja Kediri yang dikalahkan oleh Ken Arok), tetapi sebagai akibat sengketa antarkerabat, keturunan Jayawisnudhawarma sendiri. Biang keladinya adalah sikap Sri Kertanagara terhadap Demung Wiraraja. Arya Wiraraja yang sakit hati karena dilorotkan kedudukannya sebagai demung dan dipindahkan ke Sumenep sebagai adipati kemudian mendendam dan ia lampiaskan melalui Sri Jayakatwang, yang mungkin telah mengincar tahta Kediri sepeninggal Sri Wismakumara. Jayakatwang mungkin merasa ia adalah pewaris yang sah karena merupakan menantu dari Kertanagara, namun harapan itu sia-sia. Karena itu ia dendam dan satu-satunya cara adalah berhubungan dengan Wiraraja yang menaruh dendam juga pada Kertanagara.

Terlalu gandrung dengan pelaksanaan politik nusantara, banyak mengirim tentaranya ke daerah di seberang lautan, dan kurang memperhatikan keadaan di dalam negeri sehingga ibukota Singhasari menjadi lemah dalam pertahanan. Keadaan tersebut dimanfaatkan musuh-musuhnya untuk melancarkan serangan terhadap ibukota Singhasari. Runtuhnya Singhasari juga berarti penundaan pelaksanaan pembangunan Jawa Agung oleh Kertanagara.

Dari cerita dan pembahasan yang terjadi diatas bahwa pesan moral yang baik adalah yang pertama,untuk tidak memaksakan kehendak mengejar suatu ambisi dan bahkan harus merugikan orang lain demi kepuasan pribadimu sendiri. Dan yang kedua adalah untuk tidak melakukan balas dendam. Sebagai seorang manusia wajar bagi kita pernah merasa tersakiti, merasa terhina, merasa dipermalukan. Namun bukan berarti jatuh kedalam kebencian adalah jalan keluar terbaik dan melakukan balas dendam pun takkan menghasilkan apa-apa.

Saya Stanley Daiva Adriansyah dengan ini mengatakan “Jadilah manusia yang baik dan apa adanya. Jangan merugikan orang lain hanya demi ambisimu semata. Dan janganlah sekali kali kamu melakukan balas dendam. Sesungguhnya sebagai manusia kita masih memiliki banyak kesalahan dan kekurangan, yang harusnya juga membuat diri kita belajar menjadi lebih baik lagi, bukan memperburuk diri dengan ambisi yang berlebihan dan dendam”

 

Sumber : Muljana, Slamet, Dr., Prof. ; Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit ;    Jakarta(Inti Idayu Press,1983) ; Hal 40-108

#DivisiPenerbitan

#TangguhBeraksi

#HMSejarahUndip2018

 

Ratu Ageng “Sang Kartini Diponegoro”

Kartini adalah salah seorang perempuan kuat yang dimiliki oleh Indonesia. Kartini adalah salah satu aktivis yang memperjuangkan emansipasi wanita. Kartini adalah salah satu pahlawan wanita yang merupakan pelopor bagi kebangkitan perempuan-perempuan pribumi pada waktu itu. Melalui buku Door Duisternis tot Licht (Habus Gelap Terbitlah Terang), Kartini menjadi seorang motivator, menjadi panutan bagi generasi wanita-wanita Indonesia dibawahnya . Senada dengan wanita Indonesia yang memiliki panutan, seorang ningrat Jawa, sang pemimpin Perang Jawa  juga memiliki guru kehidupan, dialah Ratu Ageng.

Ratu Ageng adalah permaisuri dari Sri Sultan Hamengkubuwono 1 seorang keturunan bangsawan Mataram yang pernah melakukan perlawanan terhadap Mataram dikarenakan telah mendapat intervensi oleh VOC. Ratu Ageng bisa dikatakan perempuan yang paling berpengaruh terhadap pembentukan karakter keagamaan yang dimiliki oleh sang Pangeran kecil dikarenakan karena, beliau merupakan anak dari pemuka agama besar yaitu Kiai Ageng Deporyudo dan merupakan keturunan dari Sultan Bima.

Ratu Ageng juga merupakan komandan korps prajurit estri yaitu pasukan pengawal elite yang dimiliki Kasultanan pada saat itu. Menurut informasi yang didapatkan dari salah satu Babad Keraton Yogyakarta disebutkan bahwa Ratu Ageng dikenal karena kesalehan islamnya itu terbukti pada saat beliau membaca kitab-kitab agama dan menjujung tinggi adat jawa tradisonal di lingkungan keraton.

 

Keluarga keraton pada tanggal 11 November 1785 pada saat sahur di bulan ramadhan mendapatkan kabar bahagia bahwa Cucu dari putra mahkota telah lahir ke dunia, tidak terkecuali sang Sultan pertama yang sudah lanjut usia dengan penuh harap kepada sang Pangeran kecil yang digendongnya yang diramalkan kelak akan bangkit melawan penjajahan walau nanti hanya akan terbilang diantara para leluhur.

Ratu Ageng merupakan sosok perempuan pemarah, hal ini dibuktikan dengan keluarnya sang ratu dari keraton akibat perselisihannya dengan sang anak yaitu sultan kedua. Ratu Ageng juga terukti pekerja keras karena dengan semangatnya beliau dibantu dengan kerabatnya membuka lahan baru di wilayah barat laut keraton yaitu daerah Tegalrejo. Peristiwa itu Setelah sepeninggal Sultan pertama pada tahun 1792 itu pula, Ratu Ageng beserta B.R.M. Muntahar atau nama kecil dari Pangeran Diponegoro keluar dari benteng keraton.  Maka dari situlah penyebutan Ratu Ageng Tegalrejo tercipta.

Sejak bayi, sang Pangeran kecil telah dititipkan kepada Ratu Ageng dari ibunya R.A. Mangkorowati  yang masih muda belia, setelah mendapat ramalan bahwa bayi ini lah yang akan membuat kerusakan Belanda lebih besar daripada yang dibuat oleh Pangeran Mangkubumi dalam Perang Giyanti. Dalam kebudayaan masyarakat Jawa hal ini wajar jikalau anaknya diasuh oleh orang yang lebih tua seperti neneknya ataupun nenek buyutnya, dengan harapan agar anaknya mendapat pendidikan karakter yang cukup. Berdasarkan catatan Knoerle, bahwa sang nenek buyut merupakan seseorang yang galak namun penuh kasih sayang, buktinya adalah ketika menakut-nakuti Diponegoro kecil ketika memberikan perintah.

Relasi antara Ratu Ageng dengan kyai-kyai dan para ulama dari berbagai daerah serta kelonggaran yang diberikan oleh sang Nenek Buyut untuk menjadikan Tegalrejo menjadi tempat persinggahan bagi para komunitas-komunitas islam beserta ulamanya membuat Diponegoro kecil mendapat ilmu agama yang cukup. Kecakapan dalam hal agama inilah yang nanti akan membawa gaya kepemimpinan serta menambah kharismanya nanti di Perang Jawa.

Diponegoro dibesarkan dalam lingkungan  kerabat perempuan yang dibawa atau yang datang karena Ratu Ageng. Kedekatan serta interaksi yang terjalin sejak kecil hingga masuk ke masa dewasa inilah yang membuat Diponegoro memiliki watak feminim. Watak feminim yang dimiliki ini yang menjadikan Diponegeoro memiliki daya kepekaan yang tinggi serta memiliki intuisi yang dapat memahami bahasa-bahasa tubuh yang nantinya akan sangat berpengaruh dalam Perang Jawa seperti pada ketidaktegaan Diponegoro menyaksikan korban jatuh bergelimpangan. Dari watak yang ditularkan Nenek Buyut beserta kerabatnya tersebut memunculkan kemampuan Diponegoro lainnya yaitu dapat mampu membaca watak seseorang melalui ekspresi wajahnya atau yang bisa disebut ilmu fisiognomi.

Ratu Ageng juga mengelola tanahnya di Tegalrejo yang dibudidayakan sebagai kawasan pertanian tepadu bersama kerabatnya. Melalui nenek buyutnya iniliah perintisan Tegalrejo sebagai kawasan pertanian dimulai dan yang nanti akan diteruskan oleh Diponegoro. Tidak hanya bergerak dalam bidang pertanian, Ratu Ageng juga melakukan hubungan perdagangan hingga dengan pedagang Pantai Utara Jawa serta tempat asalnya Bima. Oleh karena lingkungan pertanian dengan perdagangan inilah Diponegoro dapat merasakan jiwa dan bau dari masyarakat kecil, hal ini yang menimbulkan  sifatnya yang merakyat dan nantinya disegani oleh rakyatnya nanti pada saat Perang Jawa.

17 Oktober 1803 merupakan hari berkabung bagi sang pangeran yang telah memasuki masa dewasanya karena sang guru kehidupannya yang mengasuhnya sejak kecil yaitu Ratu Ageng meninggal dunia, hal ini memberikan pukulan terhadap Diponegoro beserta kerabatnya. Sang permaisuri pertama dalam Kasultanan Yogyakarta ini kemudian dikebumikan di Pemakaman Raja-raja Imogiri dengan seluruh kerabat kerajaan yang mengiringinya dari Keraton kecuali Sultan Hamengkubuwono II dan putera mahkota atau ayah dari Diponegoro yang hanya mengantarkannya sampai Alun-alun Kidul.

Ratu Ageng merupakan wanita yang sangat kuat dan teguh pendiriannya dalam  memperjuangkan kebenaran yang diyakininya. Pemikirannya yang logis serta melakukan protes-protes yang dilakukan Ratu Ageng kepada Sultan yang notabe adalah anaknya beserta petingginya ini membuat berbeda dari perempuan ningrat Jawa lainnya karena mendobrak kebiasaan wanita Jawa yang hanya patuh terhadap kaum laki-laki. Pada masa tuanya didedikasikan untuk mendidik dan memberikan budi pekerti yang luhur kepada buyutnya yang kelak diramalkan akan membuat Belanda kacau. Sifat-sifat sang pangeran didapatkan dari penuturan sang Ratu Ageng, ilmu agama yang didapatkan dari ulama yang diundang pula oleh Ratu Ageng, serta pengalamannya yang hidup sebagai rakyat kecil dari kegiatannya berdagang dan bertani membuat kelak akan disegani oleh pengikutnya.

Sumber: Peter Carey.2016. AKDIR Riwayat Pangeran Diponegoro. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara

Perjuangkan Semangat Kartini

Kita kaum yang dulu diperjuangkan

Diperjuangkan dalam pendidikan

Dalam kebebasan

 

Kita kaum yang dulu dikekang

Dalam rumah pingitan

Dalam lingkaran dininya pernikahan

 

Sekarang

Kita telah dapatkan kebebasan

Pendidikan yang sama rata nan menjanjikan

Tak ada lagi paksaan dan kemuraman

Awan kelam tak lagi menutup masa depan

 

Kita adalah penerus perjuangan

Jangan hanya berlindung dibawah lengan

Orang-orang kuat dan tinggi jabatan

 

Ini bukanlah akhir dari perjuangan

Kebebasan bukan satu-satunya yang harus ditegakkan

Bukan pula sekedar pendidikan yang menjanjikan

Prestasi kita dipertanyakan

kepada negeri ini, apa yang sudah kau berikan?

 

#Selamat Hari Kartini

#DivisiPenerbitan

#TangguhBeraksi

#HMSejarahUndip2018

 

Sinema dan Tentara

Oleh Airell Luthfan Ababiel

Kita tahu dulu tentara pernah menduduki posisi strategis untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Mulai dari badan Eksekutif, Legislatif hingga Yudikatif tidak luput dari intervensi militer. Adanya sebuah upaya yang bertujuan untuk mendominasi segala segi kehidupan bernegara. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka militer harus menciptakan pola pikir masyarakat yang berorientasi pada hanya militer lah yang pantas untuk mengelola negara ini.  Pastinya militer memerlukan medium untuk menanamkan ideologisasi militerismenya. Dari banyaknya medium yang digunakan, salah satu mediumnya adalah film.

Pada awalnya film adalah ajang rekreasi atau hiburan bagi masyarakat kelas bawah di perkotaan, lalu dengan cepat menembus batas-batas kelas dan menjangkau masyarakat yang lebih luas. Kemampuan film yang mampu menjangkau banyak segmen sosial, kemudian menyadarkan para ahli bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya.

Karakteristik film sebagai media massa juga mampu membentuk semacam konsesus publik secara visual (visual public consesus), karena film selalu bertautan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan selera publik. Dengan kata lain, film merangkum pluralitas nilai yang ada dalam masyarakatnya.[1]

Film sebagai medium ideologisasi militerisme memang digunakan militer di Indonesia, terutama di masa Orde Baru. Meski  ada beberapa film produksi Orde Lama   yang juga mengangkat militer sebagai orientasi utamanya. Seperti contohnya yaitu Enam Djam di Jogja. Film kedua yang diproduksi Perfini, perusahaan film yang didirikan pada 30 Maret 1950 oleh Usmar Ismail. Film yang pertama dari Perfini adalah Darah dan Do’a (Long March).

Sebenarnya ada negara lain yang juga menggunakan film sebagai medium ideologisasi militer, yaitu negara Amerika Serikat dalam film Rambo. Namun, diantara keduanya pasti terdapat perbedaan. Yaitu pada nilai kualitas, film-film Indonesia banyak yang jelek. Sebab, sangat kelihatan tipuan-tipuan pada setiap adegan. Berbeda dengan film Amerika Serikat, misalnya Rambo. Film ini digarap dengan serius. Adegan-adegannya dibuat sedimikian rupa agar terlihat sungguh-sungguh. Jika saja penggarapannya dibuat dengan sungguh-sungguh, film itu akan memiliki kualitas bagus. Film yang memiliki kualitas bagus menjadi potensial sebagai medium ideologisasi militerisme.

Film yang dijadikan sebagai medium ideologisasi militer memiliki genre khas, yaitu “film sejarah” (atau kadangkala disebut pula “film perjuangan”). Peristiwa-peristiwa yang temanya tentang pertempuran melawan pendudukan Belanda paling banyak diangkat ke permukaan. Meski ada beberapa film mengambil setting masa kolonial (Si Pitung) dan ada juga yang mengambil setting pada masa pendudukan Jepang (Lebak Membara).

Salah satu badan yang berpengaruh pada kontrol perfilman adalah istitusi sensor. Di Indonesia, institusi tersebut dinamakan Badan Sensor Film (BSF). BSF ini sudah ada sejak jaman Belanda. Sekarang badan tersebut bernama Lembaga Sensor Film.

BSF hanyalah bagian dari kisah penyensoran Orde Baru. Skenario sebuah film harus memperoleh rekomendasi dari Direktorat Film Departemen Penerangan sebelum syuting dilakukan. Setelah syuting, rush copy atau film yang belum diedit harus diserahkan kepada BSF untuk memperoleh petunjuk mengenai bagian yang harus diedit. Setiap film yang telah diproduksi atau diimpor, harus diserahkan pada BSF untuk ditonton oleh komite (3 orang).

Disisi lain, komandan militer rayon dan pemerintah lokal bisa menghentikan peredaran film yang telah lolos dari BSF di wilayahnya. Regulasi mengenai peraturan tersebut ditetapkan pada tahun 1970an. Tahun 1975, Badan Pembinaan Perfilman Daerah (BAPFIDA) didirikan di tingkat propinsi. Dikepalai oleh kepala wilayah departemen termasuk aparat keamanan yang ditunjuk oleh Gubernur.

Film-film Indonesia, Eropa,  dan Amerika berada di bawah perwakilan Departemen Penerangan sedangkan film Asia di bawah Badan Koordinasi Intelijen (Bakin). Sementara itu, kaset video berada di bawah Kejaksaan Agung. BAKIN juga memiliki dua perwakilan di BSF, kantor Kejaksaan Agung memiliki tiga, serta Kepolisian memiliki empat anggota. Karena itu, departemen pemerintahan memiliki dua per tiga dari anggota BSF – lebih dari sepertiganya adalah Angkatan Bersenjata.[2]

Ironisnya, sensor tidak hanya membatasi. Sensor juga menciptakan kondisi bagi setiap pembuat film dan penonton. Institusi itu memaksa pembuat film dan penonton bereksperimen dengan bentuk dan makna yang bisa dicapai dalam spirit sensor, tanpa melihat kata-kata yang bertentangan di dalamnya.

Dari sejumlah film sejarah yang dibuat pada masa Orde Lama hingga Orde Baru, tampak hampir seluruh penceritaannya adalah militer. Namun ada perbedaan antara film sejarah (perjuangan) pada masa Orde Lama dengan pada masa Orde Baru. Film masa Orde Lama tidak bertumpu pada figur sentral dalam klaim perjuangan. Sedangkan dalam film Orde Baru perjuangan bersenjata bertumpu pada figur sentral (Soeharto).

Dalam film-film perjuangan pada waktu itu, sebenarnya ditampilkan juga peran-peran dari tokoh sipil. Namun, kelompok sipil nyaris tidak pernah menjadi tokoh utama.  Setelah masa Orde Baru penonjolan peran militer yang mengambil setting masa revolusi malah semakin menguat. Terlihat dari sini, tampaknya ada upaya-upaya dari militer untuk menkonstruksi citra melalui film perjuangan atau historis.

Representasi relasi sipil-militer dalam sinema pada masa Orde Baru teridentifikasi pada film Enam Djam di Jogja, Janur Kuning, dan Serangan Fajar. Konstruksi ini amat ditentukan oleh pihak militer. Sipil hanya menjadi subordinat dari kepentingan militer. Militer bukan saja menguasai penggunaan senjata, tetapi juga sangat piawai membaca situasi politik saat itu. Sementara itu para politisi sipil dikonstruksikan sebagai sosok yang masih harus mengalami pergulatan dengan dirinya untuk dapat memutuskan sikapnya.

Relasi militer-sipil ini  melihatkan perbedaan karakter melalui 3 film di atas. Misalnya, militer memiliki sikap idealis, patriotik, proaktif, heroik, dan lebih memilih jalan kekerasan (perang). Sedangkan tokoh sipil digambarkan memiliki sikap pragmatis, kompromis, pengecut, dan mengutamakan jalan damai.

Film-film sejarah yang mengangkat tema “Serangan Utama 1 Maret 1949” seperti 3 film di atas tadi, tampaknya menjadi basis ideologi dan historis bagi militer. Dengan kata lain, militer memiliki keabsahan mengintervensi, bahkan mendominasi wiliyah sipil. Relasi sipil-militer seperti ini, akhirnya memperkuat corak pretorianisme dari rezim yang berkuasa di Indonesia sejak 1967.

Di masa reformasi sekarang ini, tampaknya mulai banyak muncul versi tentang kisah “Serangan Umum 1 Maret 1949”. Mulai dari tutur para pelaku, hasil studi ataupun pendapat-pendapat dari para ahli. Melihat keadaan ini, film-film yang diproduksi untuk tujuan politis itu mulai kehilangan pengaruhnya. Masyarakat sekarang yang memiliki informasi sejarah serta sikap kritis, pasti tidak akan begitu saja mempercayai “film-film perjuangan” yang pernah ada. Mereka percaya kebenaran adanya peristiwa (Serangan Umum), namun tidak mudah percaya jalan cerita peristiwa yang dibuat oleh sebuah film. Kecuali film tersebut adalah film dokumenter.

 

Daftar Pustaka

Irawanto, Budi. 2017. Film, Ideologi, dan Militer. Yogyakarta: Jalan Baru.

Matanasi, Petrik. 2018. “Dwipajana dan Film-Film daripada Soeharto”.                                          https://tirto.id/dwipajana-dan-film-daripada-soeharto-cw53. Diunduh 6 Maret  2018.

Raditya, Iswara N. 2018. “Propaganda Soeharto dan Serangan Umum 1 Maret 1949”.       https://tirto.id/propaganda-soeharto-dan-serangan-umum-1-maret-cFuk. Diunduh                      5 Maret 2018.

Sundhaussen, Ulf. 1986. Politik Militer Indonesia 1945-1965: Menuju Dwifungsi ABRI. (Terj.)      Hasan Basari. Jakarta: LP3ES.

 

[1] Budi Irawanto, 2017: 16.

[2] Budi Irawanto, 2017 : 115.